Dirgahayu INDONESIA Raya

“Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku.” – Bung Hatta

Tepat setahun yang lalu, 17 Agustus 2016, seorang sahabat membagikan tulisan ini dalam grup Whatsapp dimana saya menjadi salah satu anggotanya. Tulisan ini tersebar begitu saja, tak tahu siapa penulisnya, namun isinya sangat menggugah batin saya, mempertebal rasa cinta pada Indonesia.

Sejak saat itu saya menyimpannya, menyebarkan di beberapa grup pertemanan, meresapinya dalam-dalam sebagai nilai luhur yang perlu saya contoh sebagai generasi muda Indonesia. Bagi saya pribadi, kecintaan pada Indonesia tumbuh besar karena kesempatan yang saya peroleh untuk keliling Nusantara, mengenal masyarakat Indonesia lebih dekat. Namun itu saja ternyata tak cukup, kita juga perlu belajar dari sejarah, meneladani karakter-karakter mulia dari para Bapak Bangsa yang mengiringi perjalanan tumbuh kembangnya Indonesia.

Maka tahun ini, tepat di hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia yang ke-72, saya berniat membagikan tulisan ini di blog pribadi, supaya ada lebih banyak orang yang akan membacanya, menyebarluaskannya, meresapi lalu mewujudkannya dalam tingkah laku atau perbuatan sehari-hari. Sebagaimana pesan luhur dari sang proklamator Bung Hatta: “Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku. Ia tumbuh dengan perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku.”

Terima kasih sebesar-besarnya kepada sang penulis asli yang tidak pernah tercantum namanya, saya mohon izin yang paling takzim kepadamu, untuk turut menyebarkan tulisan berharga ini.

IMG_20170817_071535_844

Begini selengkapnya isi tulisan itu:

BANGSA INI DIBANGUN OLEH PARA BAPAK BANGSA YANG TIDAK PENDENDAM

Perhatikan komentar Buya Hamka atas pemenjaraan dirinya oleh Bung Karno: “Saya tidak pernah dendam kepada orang yang menyakiti saya. Dendam itu termasuk dosa. Selama dua tahun empat bulan saya ditahan, saya merasa semua itu merupakan anugerah yang tiada terhingga dari Allah kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan Kitab Tafsir Al-Qur’an 30 juz. Bila bukan dalam tahanan, tidak mungkin ada waktu saya untuk mengerjakan dan menyelesaikan pekerjaan itu.”

Meskipun secara politik berseberangan, Soekarno tetap menghormati keulamaan Hamka. Menjelang wafatnya, Soekarno berpesan: “Bila aku mati kelak, minta kesediaan Hamka untuk menjadi imam shalat jenazahku…”

Meskipun banyak yang tak setuju, Buya Hamka dengan ikhlas memenuhi wasiat Soekarno memimpin shalat jenazah tokoh yang pernah menjebloskannya ke penjara itu.

BANGSA INI DIBANGUN OLEH PARA NEGARAWAN YANG TEGAS TAPI SANTUN

Karena kritiknya yang tegas pada Orde Baru, Mohammad Natsir bersama kelompok petisi 50 dicekal. Natsir dilarang untuk melakukan kunjungan luar negeri seperti mengikuti Konferensi Rabithah Alam Islami. Bahkan Natsir tidak mendapat izin untuk ke Malaysia menerima gelar doktor kehormatan dari Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Sains Pulau Pinang.

Di balik kritik yang ia lancarkan, ia tetap bersikap santun. Misalnya pada beberapa kali perayaan Idul Fitri, ia selalu saja hadir dalam acara silaturahmi di kediaman Soeharto di Cendana, meskipun keberadaannya seringkali tidak ditanggapi oleh Soeharto saat itu.

Bahkan bukan hanya bersikap santun, ia secara sadar juga turut membantu pemerintahan Orde Baru untuk kepentingan pemerintah sendiri. Misalnya, ia membantu mengontak pemerintah Kuwait agar dapat menanam modal di Indonesia dan meyakinkan pemerintah Jepang tentang kesungguhan Orde Baru membangun ekonomi.

BANGSA INI BERDIRI KARENA PARA FOUNDING FATHERS YANG TOLERAN DAN PENUH EMPATI

Prawoto Mangkusasmito, Ketua Umum Masyumi setelah Mohammad Natsir, hidup sangat sederhana bahkan tak punya rumah. Ketua Umum Partai Katolik Indonesia, I. J. Kasimo berinisiatif menginisiasi urunan untuk membelikan rumah bagi Prawoto.

BANGSA INI BESAR KARENA KESEDERHANAAN PEMIMPINNYA

Bung Hatta pernah punya mimpi untuk membeli sepatu Bally. Dia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya. Ia kemudian menabung, mengumpulkan uangnya sedikit demi sedikit agar bisa membeli sepatu idaman tersebut.

Namun, apa yang terjadi?

Ternyata uang tabungan tidak pernah mencukupi untuk membeli sepatu Bally. Uang tabungannya terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu orang-orang yang datang kepadanya guna meminta pertolongan. Alhasil, keinginan Bung Hatta untuk membeli sepasang sepatu Bally tak pernah kesampaian hingga akhir hayatnya. Bahkan, yang lebih mengharukan, ternyata hingga wafat, guntingan iklan sepatu Bally tersebut masih tersimpan dengan baik.

BANGSA INI KOKOH KARENA PEMIMPINNYA MENJUNJUNG FAIRNESS

Ketika hubungan Soekarno dan Hatta merenggang, beberapa orang yang pro Soekarno tidak mencantumkan nama Hatta pada teks proklamasi. Soekarno dengan marah menegur: “Orang boleh benci pada seseorang ! Aku kadang-kadang saling gebug dengan Hatta!! Tapi menghilangkan Hatta dari teks proooklaamaasii, itu perbuatan pengecut!!!”

Hari ini kita menentukan apakah bangsa ini jadi pengecut atau pemenang.

Jadi kerdil atau besar.

Jadi pendendam atau pemaaf.

Jadi suka menghakimi atau penuh empati.

Jadi penebar fitnah atau penyebar damai.


Selamat ulang tahun kemerdekaan ke-72 Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta. Terus nyalakan semangat, kerja bersama, membangun bangsa.

 

17.08.17

Indonesia Adalah Kita

Indonesia adalah kita

Tanah air kaya di bumi tercinta

Pusaka indah di bentang semesta

 

Indonesia adalah kita

Barisan gunung gemunung menjulang mengangkasa

Hutan luas paru paru dunia

Samudera raya menyambung nusantara

 

Indonesia adalah kita

Aneka cerita dalam satu bahasa

Warna budaya dalam satu nama

Satu bangsa satu tumpah darah

2_sekolah-lokal-jauh-ujung-pasir

 

Indonesia adalah janji kita

Tangan-tangan muda membangun bersama

Derap langkah generasi yang menjelma dalam karya

Cita-cita mulia mercusuar dunia

 

Pada janji yang sama, kita satukan suara

Suara untuk Indonesia.*)

[2013]


*) Puisi ini terinspirasi dari puisi “Aku Melihat Indonesia” karya Bung Karno, ditulis pada pertengahan tahun 2013, ketika saya masih menjadi senior reporter di NET untuk program dokumenter Lentera Indonesia. Waktu itu, hampir tiap pekan, saya sering keliling desa-desa di Indonesia, berpindah dari pulau ke pulau, meliput karya-karya anak muda, para penggerak sosial yang mengabdi bagi saudara sebangsa di pelosok Nusantara.

Puisi ini hadir bertepatan dengan persiapan pemilu presiden, sempat ditulis sebagai narasi pembuka konser Iwan Fals bertajuk “Suara untuk Negeri”. Sebagai bagian dari industri kreatif, NET turut berpartisipasi merawat persatuan bangsa dengan cara menggelar festival musik jelang pilpres, dan saya diminta menulis puisi ini sebagai mukadimah, meski akhirnya tayang dengan versi berbeda.

Kini, hampir 4 tahun berlalu, setelah saya tidak lagi menjadi pekerja media, dan memilih berkarya di balik layar untuk usaha-usaha menumbuhkan pembaharu (changemaker), saya merasa perlu menyebarkan puisi ini di blog pribadi.

Seiring euforia pesta demokrasi pilkada serentak yang sebentar lagi terlaksana, semoga karya sederhana ini bisa berguna, menyadarkan kita satu sama lain akan hakikat persaudaraan, untuk terus merawat tenun kebangsaan, meleburkan batas-batas primordial, menjaga persatuan Indonesia sebagai nilai sejati, sebagai harga mati!

Biarpun saya pergi jauh/ tidakkan hilang dari kalbu// Tanahku yang kucintai/ Engkau kuhargai//

Wilibrodus Marianus.